Pentingnya Kebijakan Halal

Halal melibatkan lebih dari sekedar ketiadaan zat yang dilarang oleh Islam. Selain itu, penting untuk memperhatikan bahan baku yang digunakan sebelum diproses, produk akhir setelah diproses, serta bahan, alat, dan lokasi tambahan. Produk halal adalah yang halal komposisinya, halal pengolahannya, halal penyembelihannya, dan halal sumbernya.

Untuk melindungi konsumen muslim di negara Indonesia yang lebih dari 85 persen penduduknya beragama Islam dari mengkonsumsi dan menggunakan produk yang haram dan najis maka wakil rakyat di DPR membuat Undang Undang tentang Jaminan Produk Halal. Pada tanggal 17 Oktober 2014, UU No. 33 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) disahkan oleh Presiden RI.

Sebelum hadirnya UU 33 tahun 2014, peran utama sertifikasi halal dilakukan oleh MUI, melalui LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetikan MUI). Sertifikasi bersifat voluntary (sukarela) atas permintaan pelaku usaha yang ingin memiliki sertifikat halal. MUI juga melakukan pengawasan terhadap produk yang beredar. Namun ketika terjadi penyalahgunaan label halal MUI tidak bisa memberikan sanksi bagi pelaku usaha. MUI hanya bisa memberikan teguran dan peringatan. Seperti adanya kasus pemasangan label halal pada produk yang belum tersertifikasi atau pelaku usaha yang mengganti komposisi bahan dari yang diajukan dalam proses sertifikasi (Karimah 2015).

Sebelum disahkannya UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, sejumlah aturan mewajibkan kepada tiap perusahaan yang membuat produk makanan mengungkapkan bahan yang digunakan selama produksi. Pelanggan Muslim dapat menentukan apakah komponen tersebut dilarang untuk dikonsumsi dengan melihat riasan produk pada kemasannya.

Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label”.

Menurut Pasal 97 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan menyebutkan: “Setiap orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan”.

Pelaku usaha yang melabeli produknya halal tidak diperbolehkan memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan wajib bertanggung jawab atas apapun yang diperdagangkannya. Setiap pelaku usaha yang memproduksi makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetik wajib mencantumkan tanda yang memuat komponen yang digunakan dan komposisi masing-masing bahan pada produk sebagai akibat dari persyaratan yang mengatur pencantuman label. Pelanggan Muslim dapat memeriksa suatu produk menggunakan informasi tentang susunan zat yang digunakan dalam pembuatannya.

Produk halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syariat Islam, yaitu:

  1. Tidak terdapat kandungan babi dan zat yang berasal dari babi.
  2. Tidak terdapat banyaknya bahan yang dilarang oleh islam seperti bahan-bahan yang berasal dari organ tubuh manusia, darah, kotoran dan lain-lain.
  3. Semua bahan yang asalnya dari hewan halal yang dipotong dengan aturan yang diperintahkan Islam.
  4. Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Apabila pernah dilskuksn untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya maka terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syariat Islam.
  5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *